on Sabtu, 06 Juni 2009

DOA
oleh Kahiril Anwar
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

on Kamis, 04 Juni 2009

KESEMPATAN KERJA SEKTOR INFORMAL PEKOTAAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Dosen Pengampu Grendi Hendrastomo,MM

Heru Susanto 08413244039
Prita Eswari 08413244015
Rizki Mega Saputra 08413244039
Yeni Ristiana 08413244003
Yohanes Kristianto Nugroho 08413244047



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
Jenis-Jenis Sektor Informal
Peran Sektor Informal
Keberadaan Pekerja Informal
Permasalahan Dan Upaya Mengatasinya
BAB III PENUTUP
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Istilah Sektor Informal mulai dikenal dunia di awal tahun 1970’an dari suatu penelitian ILO di Ghana, Afrika. Sejak saat itu berbagai definisi dan pengertian dibuat orang. Pengertian yang populer dari pekerjaan informal pada awalnya adalah sederhana, yakni suatu pekerjaan yang sangat mudah dimasuki, sejak skala tanpa melamar, tanpa ijin, tanpa kontrak, tanpa formalitas apapun, menggunakan sumberdaya lokal, baik sebagai buruh ataupun usaha milik sendiri yang dikelola dan dikerjakan sendiri, ukuran mikro, teknologi seadanya, hingga yang padat karya, teknologi adaptatip, dengan modal lumayan dan bangunan secukupnya. Mereka tidak terorganisir, dan tak terlindungi hukum.
Sektor informal perkotaan merupakan suatu sektor yang kurang mendapat dukungan dari pemerintah, tidak tercatat secara resmi dan beroperasi di luar aturan pemerintah. Sektor informal perkotaan terdiri dari sektor yang syah dan tidak syah, diantara sektor – sektor yang syah antara lain meliputi, pertanian, perkebunan, penjahit hal ini termasuk sektor primer dan sekunder, sedangkan yang tersier adalah sewa - menyewa, banyak juga sektor informal lainnya diantaranya adalah pedagang kaki lima, pedagang kelontong, pedagang pasar dan lain sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam sektor informal yang tidak syah dalam artian tidak dikehendaki keberadaannya diantaranya adalah, yang berupa jasa biasanya agen penadah pencurian, tempat pelacuran, dan tempat – tempat perjudian.
Sektor informal meliputi bidang kegiatan yang bervariasi. Pekerjanya menghasillkan beragam barang dan jasa.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian yang telah sedikit di paparkan dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan untuk sebagai bentuk data yang bias dibahas, sebagai berikut:
1. Apakah Jenis-jenis dari sector informal itu ?
2. Bagaimana cara untuk menanggulangi masalah ini, yang terjadi di masyarakat ?

BAB II
PEMBAHASAN
Pekerja informal dalam industri tersier juga ada di mana-mana. Di arena perdagangan, pedagang amat banyak variasinya. Pedagang yang, dapat menggerakkan dagangannya berpindah tempat secara instan dapat dipastikan informal, seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima, pedagang keliling. Penjaja jasa seperti tengkulak dan makelar termasuk pekerja informal. Dalam pada itu, pedagang yang menetap pun seperti warung tegal tergolong dalam sektor ini. Dalam arena perhubungan, kita kenal ojek, tukang becak, sopir angkot, perahu tambangan, taksi gelap misalnya. Yang sangat luas ialah sektor jasa, seperti buruh cuci di rumah, pemulung, pengamen, pekerja seks komersial, pengetik, pengasuh anak, penggunaan komputer, distribusi surat dan selebaran-selebaran. Juga, tak kurang dalam sektor finansial sekalipun. Lintah darat atau pemberi pinjaman uang telah kita kenal sejak dahulu kala. Di masa kini, institusi keuangan seperti akuntan menggunakan tenaga informal. Sangat popular juga adalah penukar uang atau money changer yang bisa kita jumpai bahkan di pelabuhan-pelabuhan internasional. Dapat disimpulkan bahwa sektor ini benar-benar dapat menyerap banyak tenaga kerja dalam berbagai jenis. Kemampuan penciptaan kerja juga meringankan beban pihak-pihak pemberi kerja.
JENIS-JENIS SEKTOR INFORMAL
Menurut Keith Hart, ada dua macam sektor informal dilihat dari kesempatan memperoleh penghasilan, yaitu:
1. Sah; terdiri atas:
• a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder—pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan, dan lain-lain.
• b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar—perumahan, transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain.
• c. Distribusi kecil-kecilan—pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain.
• d. Transaksi pribadi—pinjam-meminjam, pengemis.
• e. Jasa yang lain—pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah, dan lain-lain.
2. Tidak sah; terdiri atas :
• a. Jasa—kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya: penadah barang-barang curian, lintah darat, perdagangan obat bius, penyelundupan, pelacuran, dan lain-lain.
• b. Transaksi—pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar (perampokan bersenjata), pemalsuan uang, perjudian, dan lain-lain.
Ada beberapa pembagian dari sektor informal ini yaitu 3 kelompok pekerja informal, ke dalam:
1. Pengusaha (pemilik usaha informal dan Pemilik sekaligus operator dari pengusaha mandiri);
2. Pekerja mandiri (kepala dari bisnis keluarga, orang yang mempekerjakan diri sendiri, tenaga kerja keluarga tak di bayar), dan
3. Buruh upahan (pekerja dari perusahaan informal; Pekerja kasuaL, pekerja rumahan, pembantu rumah tangga, pekerja paruh waktu atau pekerja kadang-kadang, pekerja tak terdaftar).
PERAN SEKTOR INFORMAL
Ketika Pemerintah maupun swasta tidak mampu menyediakan lapangan kerja formal dengan norma ketenagakerjaan standar, keberadaan sektor informal sungguh merupakan katup pengaman yang patut disyukuri dalam mengatasi pengangguran. Kedamaian dan kesejahteraanpun tercipta ketika perut terisi dan kebutuhan hidup dan keluarga tercukupi. Kriminalitas tentu dapat di tekan. Pada masa krisis mulai tahun 1997 yang hingga kini belum pulih, peran sektor informal sebagai katup pengaman, harus diakui besar peranannya dalam penyelamatan ekonomi yang terpuruk paling bawah diantara sesama negara tetangga. Segar dalam ingatan ketika pekerja-pekerja formal terPHK dalam jumlah yang fantastis, berduyun-duyun mereka berpindah memasuki sektor informal untuk bertahan hidup. Tak kurang karena didorong perusahaannya.
Kapasitas sektor informal menyediakan lapangan kerja luar biasa. Dari jumlah pekerja informal itu sendiri, kita hanya bisa memperkirakan bahwa jumlah mereka berlipat kali pekerja formal. Tidak ada data yang akurat tentang berapa sesungguhnya jumlah orang yang bekerja di dalam kapling ekonomi informal ini. Hingga sekarang BPS belum pernah mengumpulkan data spesifik tentang sektor informal dalam variable khusus. Data yang di ketengahkan oleh orang-orang yang berkepentingan tentang sektor informal diperoleh berdasarkan logika melalui pilihan dari komponen Status Pekerjaan, yang berupa penjumlahan dari Tenaga Kerja tak Dibayar dan Pengusaha tanpa Buruh. Ketepatan angka ini tidak akurat, karena diantara tenaga kerja yang dibayar maupun pengusaha dengan buruh ada pula yang tergolong informal. Tak kurang dari ILO memperkirakan jumlah tenaga kerja yang mencari nafkah untuk menyambung hidupnya dalam arena ekonomi informal mencapai besaran dua-pertiga jumlah angkatan kerja. Kaum perempuan terus terkonsentrasi dalam kegiatan informal ini. Ditaksir jumlah mereka 70% dari total angkatan kerja perempuan. Dari soal ketersediaan data tentang keberadaan pekerja informal saja, dapat ditarik kesimpulan bahwa sektor ini belum mendapat perhatian. Jumlah ini terus bertambah, taruhlah dari observasi-observasi yang menunjukkan bahwa UKM (Usaha Kecil dan Menengah) semakin mengarah pada informalitas. Sudah saatnya Pemerintah mengalokasikan budget tambahan agar angka statistik dipunyai.
KEBERADAAN PEKERJA INFORMAL
Dari aspek produksi mereka kekurangan modal, teknologi maupun pendidikan, disertai sumberdaya yang terbatas. Hygiene dan sanitasi adalah masalah keseharian. Hak-hak sebagai buruh terbatas. Bagi yang terikat dalam hubungan buruh majikan, upah sangat rendah, dalan skala 20% - 70% UMR Jam kerjanya diatas jam kerja standar, tanpa uang lembur. Tak ada jaminan sosial, tak ada bonus, promosi kerja.
Dari aspek organisasi, pekerja informal tergolong tak terorganisir. Kalaupun ada sangat terbatas dalam kelompok-kelompok pada lokalita sempit. Kebanyakan mereka bekerja terisolasi. Karena jam kerjanya amat panjang, tak ada waktu luang untuk berorganisasi. Yang menyedihkan adalah karakteristik yang bermuara pada apa yang disebut kemiskinan. Tentunya data kemiskinan di kalangan mereka ini yang spesifik harus bisa diidentifikasi. Kita hanya bisa mengamati bahwa kemiskinan menganga didepan pekerja informal dan keluarganya, akibat pendapatan keci dari pekerja informal mandiri ataupun upah buruh yang sedikit. Pendapatan serta produktivitas yang rendah berhubungan erat dengan modal yang kecil. Sebagai pekerja, merekapun tidak memperoleh perlindungan sosial. Karenanya, masalah kesehatan akibat kerja misalnya menjadi tanggungan pribadi. Mereka banyak yang menyebut diri “orang susah.”
PERMASALAHAN DAN UPAYA MENGATASINYA
Batasan mengenai sektor informal sebagai sebuah fenomena yang sering muncul diperkotaan masih dirasakan kurang jelas, karena kegiatan-kegiatan perekonomian yang tidak memenuhi kriteria sektor formal—terorganisir, terdaftar, dan dilindungi oleh hukum—dimasukkan kedalam sektor informal, yaitu suatu istilah yang mencakup pengertian berbagai kegiatan yang seringkali tercakup dalam istilah umum “usaha sendiri”. Dengan kata lain, sektor informal merupakan jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, sulit dicacah, dan sering dilupakan dalam sensus resmi, serta merupakan kesempatan kerja yang persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan-aturan hukum.
Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1971) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada diluar pasar tenaga terorganisasi.
Apa yang digambarkan oleh Hart memang dirasakan belum cukup dalam memahami pengertian sektor informal yang sesungguhnya. Ketidakjelasan definisi sektor informal tersebut sering dilengkapi dengan suatu daftar kegiatan agak arbiter yang terlihat apabila seseorang menyusuri jalan-jalan suatu kota Dunia Ketiga: pedagang kaki lima, penjual koran, pengamen, pengemis, pedagang asongan, pelacur, dan lain-lain. Mereka merupakan pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil dengan pendapatan rendah dan tidak tetap.
Untuk lebih memahami pengertian akan sektor informal, ada baiknya kita melihat aktifitas-aktifitas informal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan dipinggiran kota-kota besar, tetapi bahkan juga meliputi berbagai macam aktifitas ekonomi. Aktifitas-aktifitas informal tersebut merupakan cara melakukan sesuatu yang ditandai dengan: Mudah untuk dimasuki; Bersandar pada sumber daya lokal; Usaha milik sendiri; Operasinya dalam skala kecil; Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif; Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal; dan Tidak terkena secara langsung oleh Regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.
Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah kota. Selama ini, pemerintah hanya melakukan “penertiban” dalam mengatasi masalah sektor informal. Namun hal tersebut terbukti tidak efektif, karena setelah para pedagang kaki lima tersebut ditertibkan maka beberapa hari kemudian mereka akan kembali ketempat semula untuk berjualan. Selain itu, ada kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan tersebut diperjualbelikan, padahal mereka berjualan dilokasi Public Space yang merupakan milik pemerintah. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.
Sektor informal perkotaan merupakan suatu sektor yang kurang mendapat dukungan dari pemerintah, tidak tercatat secara resmi dan beroperasi di luar aturan pemerintah. Sektor informal perkotaan terdiri dari sektor yang syah dan tidak syah, diantara sektor – sektor yang syah antara lain meliputi, pertanian, perkebunan, penjahit hal ini termasuk sektor primer dan sekunder, sedangkan yang tersier adalah sewa - menyewa, banyak juga sektor informal lainnya diantaranya adalah pedagang kaki lima, pedagang kelontong, pedagang pasar dan lain sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam sektor informal yang tidak syah dalam artian tidak dikehendaki keberadaannya diantaranya adalah, yang berupa jasa biasanya agen penadah pencurian, tempat pelacuran, dan tempat – tempat perjudian.
Memang kadang sector informal ini sangatlah diremehkan oleh pemerintah pada kegiatan ekonomi. padahal yang akan membantu pemerintah dalam pembangunan ini sangatlah penting. Kerja di sektor kerja informalatau popular dengan kata pedagang kaki lima (PKL) merupakan hal fenomenal di Indonesia. Para pekerja ini sering kita jumpai di pinggir-pinggir jalan ataupun kolong-kolong jembatan di daerah perkotaan. Kebanyakan mereka adalah para migran yang datang dari pedesaan akibat sempitnya lapangan pekerjaan di sana. Daerah perkotaan yang sepertinya menjanjikan banyak hal, terutama perbaikan ekonomi bagi kehidupan mereka menjadi daerah tujuan untuk mengadu nasib. Namun, karena kurangnya kemampuan dan keahlian yang mereka miliki, akhirnya kebanyakan mereka mencoba mencari pekerjaan yang tidak terlalu memerlukan banyak keahlian, mudah dan bisa mendatangkan uang dengan cepat. Pilihan itu kebanyakan adalah sektor informal dengan menjadi pedagang kaki lima.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sektor informal sebagai sektor alternatif bagi para migran cukup memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan. Selain membuka kesempatan kerja, sektor informal juga dapat meningkatkan pendapatan bagi masyarakat kota. Namun, pertumbuhan sektor informal yang pesat tanpa mendapat penanganan yang baik dan terencana akan menimbulkan persoalan bagi kota. Untuk itu, pemerintah kota harus jeli dalam menangani masalah sektor informal itu. Sehingga, sektor informal dapat tumbuh dengan subur tanpa mengganggu kepentingan umum, terutama tidak mengganggu keamanan, ketertiban dan keindahan kota.
Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah kota. Selama ini, pemerintah hanya melakukan “penertiban” dalam mengatasi masalah sektor informal. Namun hal tersebut terbukti tidak efektif, karena setelah para pedagang kaki lima tersebut ditertibkan maka beberapa hari kemudian mereka akan kembali ketempat semula untuk berjualan. Selain itu, ada kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan tersebut diperjualbelikan, padahal mereka berjualan dilokasi Public Space yang merupakan milik pemerintah. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.
Sempitnya lapangan pekerjaan, terutama di daerah pedesaan menyebabkan timbulnya pekerja sektor informal. Padahal, kalau kita melihat dari sisi positif fenomena pekerja sektor informal ini, akan ada banyak potensi yang bisa dikembangkan. Sebagai contoh adalah Negara Cina yang berhasil membangun perekonomian negaranya dari sektor informal penduduknya yang melakukan kegiatan usaha mandiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Knowledge Wharton, perekonomian Cina hingga sekarang terus mengalami pertumbuhan pesat, rata-rata 8,35 persen selama kurun waktu tahun 1990 dengan melakukan bisnis konvensional yang jauh dari system legal dan financial yang sangat berbeda dengan sistem perekonomian yang diaplikasikan Barat.
Sektor kerja informal dapat mengurangi pengangguran yang terjadi di Indonesia. Pekerja sektor informal ini tidak bisa dihilangkan. Dia akan terus ada seiring dengan pertumbuhan penduduk. Yang harusnya dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan banyak kerugian dan dampak negatif. Potensi dari para pekerja sektor informal tersebut akan menjadi potensi yang sangat besar dalam mendukung perkembangan ekonomi sektor informal. Yang belum dilakukan pemerintah selama ini adalah pemberdayaan masyarakat dengan melakukan penumbuhan iklim usaha pembinaan dan pengembangan sehingga pekerja di sector informal tersebut mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.


DAFTAR PUSTAKA

Gilbert, Alan dan Josef Gugler. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, P.T Tiara Wacana Yogya.
http://google.com/gwt/n-studi-literatur-sektor-informal-perkotaan.html
http://pondokinfo.com/index.php/pondok-realita/45-masyarakat/64-sektor-informal-permasalahan-dan-upaya-mengatasinya.html
http://Wordpress.com/pedagang_kaki_lima
Manning, Chris dan Tadjuddin Noer Effendi. Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di kota. Yayasan Obor Indonesia.

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN I
KELURAHAN KLEGO (KAMPUNG ARAB) PEKALONGAN TIMUR PEKALONGAN




Disusun Oleh :
Agung Prajuliyanto 08413244012
Dyta Enggar Hapsari 08413244043
Eka Kurniawati 08413244001
Indra Wijarnako 08413244021
Kardina Ari Setirasih 08413244005
Rizki Mega Saputra 08413244039
Sri Verawati 08413244046
Sri Hanugrah Agin Martasari 08413244020
Yohanes Kristianto Nugroho 08413244047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kami dalam mengerjakan laporan kuliah kerja lapangan ini tanpa ada rintangan apapun yang membuat kami kesulitan dalam menyusunya.
Dalam penyusunan laporan ini banyak pihak yang berperan untuk itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Beliau yang membantu dalam penulisan laporan kuliah kerja lapangan ini yaitu
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta Bapak Sardiman,A.M.M.Pd selaku pihak yang telah mengizinkan kami dalam melakukan penelitian yang dilakukan pada 1-2 Mei 2009 di Pekalonga dan Pemalang.
2. Bu Terry Irenewati, M. Hum selaku ketua jurusan Sejarah.
3. Bu Puji Lestari, M. Hum selaku ketua prodi pendidikan sosiologi.
4. Bu V . Indah Sri Pinasti selaku dosen pembimbing dalam pembuatan laporan ini.
Kami menyadari bahwa laporan kuliah kerja lapangan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kami membutuhkan saran dan usulan demi kemajuan yang kami dapatkan yang akan datang lebih baik lagi.

Yogyakarta, Mei 2009


PENULIS







DAFTAR ISI
Halaman Judul..............................................................................................i
Kata Pengantar.............................................................................................ii
Daftar Isi.....................................................................................................iii
BAB I Pendahuluan..................................................................................1-2
A. Latar Belakang…………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………2
C. Tujuan Penelitian.............................................................................2
BAB II Tinjauan Teori.............................................................................3-4
A. Stratifikasi Sosial..............................................................................3
B. Mobilitas Sosial.................................................................................3
C. Norma-Norma Sosial....................................................................... 3
D. Pranata Sosial....................................................................................4
E. Kelompok Sosial...............................................................................4
F. Interaksi Sosial....................................................................................4
BAB III Pembahasan ...............................................................................5-11
BAB IV Penutup.........................................................................................12
A. Kesimpulan......................................................................................12
B. Saran................................................................................................12
Lampiran............................................................................................. 13-16


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat merupakan pergaulan hidup, oleh karena itu manusia hidup dengan bersama-sama. Masyarakat adalah suatu sistem yang terwujud dari kehidupan bersama manusia, yang seperti kita sebut yaitu kemasyarakatan. Masyarakat sebagai bidang kajian dari sosiologi pada hakekatnya dapat dilihat dari berbagai sisi atau aspek. Apabila dilihat dari struktural dapat disebut dengan struktural sosial , yaitu tentang keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yakni kaedah-kaedah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial dan stratifikasi sosial. Yang dimaksud dengan dinamika masyarakat adalah apa yang disebut sebagai proses sosial dan perubahan-perubahan sosial. Proses sosial adalah cara berhubungan dapat dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dengan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan itu atau apa yang terjadi apabila ada perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara yang telah ada dari masyarakat.
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang maka dapat diambil suatu rumusan masalah yang bisa untuk acuan dalam pembahasan ini, rumusan masalahnya yaitu:
a. Apa yang terjadi dalam di perkampungan arab tersebut, apabila ditinjau dari kajian sosiologi?
b. Apakah di masyarakat perkampungan arab struktur dan proses sosial yang ada di teori sama dengan yang ada pada kenyataanya atau pada praktiknya sama halnya dengan yang dipelajari mahasiswa selama ini, baik dari segi interaksi, mobilitas dan sebagainya?
c. Apakah teori yang ada di masyarakat perkampungan arab bila ditinjau dari segi kajian sosiologi yang dipelajari selama ini?
C. TUJUAN PENELITIAN
Dengan adanya penelitian tentang masyarakat keturunan arab yang ada di kelurahan Klego Pekalongan Timur pekalongan, maka kami mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Mengerti apa yang terjadi dalam masyarkat perkampungan Arab.
b. Mempelajari struktur dan proses sosial di masyarakat khususnya yang ada di masyarakat perkampungan Arab.
c. Untuk menempuh mata kuliah kkl 1 dengan pokok bahasan tentang proses dan struktur sosial.


BAB II
KAJIAN TEORI
Dalam kajian ini bisa menggunakan teori-teori yang memberikan gambaran yang ada dalam kaitan proses dan struktur masyarakat.
A. STRATIFIKASI SOSIAL
Bisa melihat asal kata dari stratifikasi yaitu stratum (jamaknya menjadi strata) yang artinya lapisan. Pitirm A Sorikin mengatakan bahwa sistem pelapisan merupakan ciri yang tetapnya dan umum setiap masyarakat yang hidup teratur. Jadi stratifikasi sosial menurut Pitirim yaitu pembedaan penduduk atau masyarkat kedalam kelas-kelas kedalam tingkatan atau dapat disebut dengan stratifikasi sosial. Di masyarkat Perkampungan Arab tidak terjadinya suatu pelapisan yang menjadi ciri khas dari masyarkat mereka. Joseph Schumpeter mengatakan bahwa terbentuknya kelas dalam masyarakat karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata, akan tetapi makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat terjadinya.
B. MOBILITAS SOSIAL (Social Mobility)
Masyarakat ini merupakan mobilitas geografis yaitu perpindahan atau pergerakan penduduk dari suatu negara ke negara lain dengan status yang sama di tempat yang lain.
C. NORMA-NORMA SOSIAL
Norma yang terbentuk oleh Perkampungan Arab dapat dikatakan adanya asimilasi yang terjadi dalam masyarakat ini karena mereka hanya mengikuti norma yang ada di Pekalongan saja tanpa ada membawa norma yang ada dari negara asalnya.

D. PRANATA SOSIAL
Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan dasar tertentu dalam masyarakat.
E. KELOMPOK SOSIAL
Kelompok-kelompok sosial merupakan himpunan manusia yang saling hidup bersama dan menjalani saling ketergantungan dengan sadar dan tolong menolong.
F. INTERAKSI SOSIAL
Interaksi yang terjadi pada masyarkat Perkampungan Arab di klego sangatlah baik dengan masyarakat setempat, apabila kita melihat syarat-syarat terjadinya interaksi sosial yang ada di Perkampungan Arab ini. Maka ini sangat baik sekali bila diterapkan dalam masyarkat yang lain. Dengan begitu komunikasi atau interaksi yang terjadi bisa mempererat satu dengan yang lainnya. Charles H.Cooley ”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”.

BAB III
PEMBAHASAN
Dalam masyarkat Perkampungan Arab (Klego) Pekalongan Timur termasuk kedalam kajian yang ada dalam Proses dan struktur sosial. Di perkampungan Arab ini mempunyai kesamaan kebudayaan dengan masyarakat yang ada di Pekalongan asli. Bahkan mereka tidak mau dianggap kalau mereka termasuk orang Arab, dengan begitu maka tidak ada yang membedakan antara mereka dengan masyarakat setempat. Bahkan orang yang masih dianggap asli keturunan asli Arab tidak mau dianggap orang Arab karena mereka telah menganggap kalau Indonesia adalah negara mereka bukan Arab. Memang dahulu orang-orang arab yang datang ke Indonesia itu berasal dari berbagai negara misalnya Persia, Gujarat dan negara-negara Timur Tengah yang lainnya. Mereka bisa menetap di Indonesia dengan cara melakukan perkawinan dengan masyarakat setempat. Selain itu mereka juga berdagang sambil menyebarkan agama Islam. Bahkan cara itu disebarluaskan sampai Nanggroe Aceh Darusalam yang sampai disebut-sebut sebagai Serambi Mekah. Norma dibuat supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan.
Pada awalnya norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja, namun lama kelamaan norma tersebut dibuat secara sadar. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada norma yang lemah, sedang , sampai yang terkuat daya ikatnya. Dan pada akhirnya, anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya. Menurut kekuatan mengikatnya, norma dapat dibedakan menjadi:


1. Cara (usage)
Di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangannya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, namun hanya sekedar celaan. Di masyarakat kampung Arab (Kelurahan Klego), sistem cara (usage) masih seperti kebanyakan orang-orang Jawa lainnya,mereka tidak memiliki cara-cara khusus dalam kehidupannya. Karena sebagian besar penduduknya, bertempat tinggal di kampung Arab tersebut sejak mereka masih kecil, sehingga sistem cara masih seperti masyarakat jawa pada umumnya dan mereka tidak membentuk cara-cara tersendiri, misalnya saja tentang cara berpakaian yang harus sopan.
2. Kebiasaan (folkways)
Mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan dapat diartikan sebagai kegiatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama dan merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Dalam masyarakat Arab di kelurahan Klego, tidak memiliki sistem kebiasaan yang khusus. Pada dasarnya, seperti dalam sistem cara, kebiasaan masyarakat Arab pun masih sama dengan masyarakat lain, misalnya seperti: kebiasaan menghormati orang yang lebih tua dan menghargai orang yang lebih muda.
3. Tata Kelakuan
Semua tindakan atau tata kelakuan di desa Klego Pekalongan (Kampung Arab) telah diatur oleh norma-norma yang berfungsi untuk mengatur semua tindakan warga keturunan di daerah tersebut. Norma-norma tersebut telah disepakati dan telah dilaksanakan secara turun temurun, walaupun sebenarnya peraturan-peraturannya tidak berbeda jauh dengan peraturan-peraturan masyarakat Pekalongan. Sebagian besar peraturannya menyesuaikan dengan peraturan yang sudah ada, apalagi warga keturunan Arab juga hidupnya membaur dengan warga Pekalongan lainnya. Norma-norma dalam masyarakat tersebut yang mengatur tentang pola perilaku atau tata kelakuan wajib ditaati dan dijalankan oleh semua warga masyarakat di Pekalongan umumnya serta warga keturunan Arab pada khususnya.
Contoh-contoh tata kelakuan yang telah disepakati antara lain adalah bahwa warga masyarakat dilarang mabuk, main perempuan, judi, mencuri , dan lain sebagainya yang tidak jauh berbeda dengan norma tata kelakuan pada umumnya. Apabila warga masyarakat ada yang melanggar tata kelakuan yang telah disebutkan di atas dan melanggar norma tata kelakuan yang telah disepakati maka sebagian besar akan diberi teguran terlebih dahulu oleh warga masyarakat lain, namun apabila orang tersebut tetap melanggarnya maka sudah tidak bisa ditoleransi lagi, maka warga akan menyerahkan pada pihak yang berwajib, mengucilkan mereka dari masyarakat, bahkan akan ada labeling melekat pada diri orang yang melanggar norma-norma tentang tata kelakuan tersebut ataupun dihukum sesuai peraturan yang berlaku dan ditaati dalam masyarakat tersebut.
4. Adat Istiadat
Adat istiadat di daerah Klego tersebut tidak jauh berbeda dengan warga masyarakat sekitar karena warga keturunan Arab pada umumnya sudah membaur dan hidup bersama dengan rukun, ada pula yang telah menikah dengan warga Pekalongan dan mempunyai anak atau keturunan. Adat istiadat di daerah Klego ini pada umumnya menyesuaikan dengan adat istiadat orang Pekalongan, sehingga adat istiadat mereka sebagian besar sama dengan adat istiadat warga Pekalongan. Adat istiadat dalam sebuah perkawinan mengatur bahwa dalam sebuah perkawinan atau pernikahan harus seagama.
Istilah Pranata Sosial oleh Soerjono Soekanto disebut lembaga kemasyarakatan istilah bahasa Inggris Social institution atau bisa juga di artikan sebagai lembaga social. Istilah pranata social berkaitan erat dengan istilah instusi (pranata) dan institute (lembaga). Institusi atau pranata adalah system norma atau aturan- aturan khusus mengenai aktivitas masyarakat. Jadi, istitusi merupakan wujud kongkret dari paranata. Sedangkan lembaga kemasyarakatan adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Komponen keluarga terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak. Tiap- tiap keluarga menjalankan hak dan kewajibannya, serta peranannya masing-masing. Keluarga memiliki aturan atau norma yang harus ditaati oleh anggota keluarganya. Pranata keluarga adalah system norma yang mengatur tindakan manusia dalam hubungannya dengan lembaga keluarga. Di daerah Pekalongan, khususnya masyarakat arab proses pelamarannya biasa-biasa saja, tidak ada yang khusus. Proses pelamaran dilakukan selang beberapa hari, biasanya diawali dengan, orang tua wali mendatangi dan memberikan pertanyaan kepada calon wanita yang akan di lamar secara baik-baik. Dihari tersebut disepakati kapan akan dilangsungkan atau dilaksanakan pernikahan. Setelah kedua belah pihak menyetujui kapan akan dilangsungkannya pernikahan, dihari perkawinanya pihak laki-laki membawa seserahan untuk pengantin wanita.
Dalam pola perkawinan masyarakat arab, tidak ada aturan khusus. Masyarakat arab boleh menikah dengan masyarakat asli Pekalongan, yang penting seagama. Masalah tempat tinggal tidak ada masalah, tapi biasanya istri yang ikut suaminya, atau bisa juga suami yang ikut istrinya tergantung situasi. Zaman dahulu masyarakat arab dalam menikah, anak harus menurut kepada orang tua dalam memilih pendamping hidupnya, sedangkan zaman sekarang secara umum melalui pacaran dahulu atau ta’aruf(secara agama islam).
Dalam mendidik anak-anaknya masyarakat arab tidak begitu mempermasalahkannya. Prioritas orang tua terhadap sekolah anaknya sama secara umum. Walaupun masyarakat arab itu di kenal dengan keislamannya, tapi para orang tua mendidik anaknya dengan menyekolahkan anaknya di sekolahan umum dan ada juga orang tua yang memasukkan anak-anaknya ke pesantren atau sekoalah-sekolah yang lebih menekankan pada agamnya, tapi tergantung orang tuanya juga. Sistem kekerabatan yang terjadi telah hilang di masyarakat ini, karena mereka menganut sistem yang umum di Indonesia, tidak lagi menggunakan marga yang pada semestinya.
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antar kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Interaksi dapat bersifat Asosiatif dan Dissosiatif. Interaksi yang bersifat asosiatif mengarah kepada hal-hal yang bersifat positif di dalam suatu kelompok. Dalam proses ini terjadi suatu kerjasama antar satu kelompok masyarakat dengan yang lain. Masyarakat keturunan Arab di Pekalongan terdapat suatu kerjasama yang baik, baik dalam sesama warga keturunan arab sendiri ataupun dengan warga masyarakat sekitar. Mereka tidak harus bekerja sama hanya dengan warga keturunan Arab saja akan tetapi bisa dengan warga masyarakat yang lain. Contoh lain kerjasamanya adalah ketika menjelang Idul Fitri diadakan acara bakti sosial yang membagikan bantuan zakat fitrah kepada warga masyarakat sekitar. Hal ini membawa pengaruh yang positif bagi hubungan antar masyarakat, tidak dapat disangkal bahwa di Pekalongan dan khususnya di kampung Arab hampir tidak ada konflik atau pertikaian antar sesama warga keturunan Arab ataupun dengan warga masyarakat yang lain.
Interaksi yang bersifat dissosiatif. Salah satu bentuk proses disosiatif adalah persaingan. Persaingan diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan . Persaingan dalam hal ekonomi, kebudayaan, kedudukan, peranan, ras dan lain-lain. Di kampung Arab, masyarakatnya sangat mementingkan pendidikan hal ini terbukti dengan upaya dari walikota Pekalongan yang juga warga keturunan Arab yakni Bapak Dr. Baasir Bardis yang mengusahakan tersedianya pendidikan bagi seluruh warganya. Jadi dapat dikatakan bahwa persaingan hanya berupa pendidikan semata dan tetap bersifat positif bukan bersifat negatif ataupun menuju kepada perpecahan.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang tinggi , akan menempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi dari yang lainnya. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan dari posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda secara vertikal. Pelapisan masyarakat pada dasarnya sudah ada sejak masyarakat mengenal kehidupan bersama. Dan stratifikasi di Indonesia tampak begitu nyata dan tajam ketika kolonialisme yang terjadi pada zaman dulu. Pada masa penjajahan Belanda terjadi pelapisan-pelapisan sosial yang dibuat oleh pemerintah Belanda yang mana pelapisan-pelapisan tersebut menimbulkan tingkatan-tingkatan sosial masyarakat dari yang paling atas ke lapisan yang paling bawah. Sistem lapisan dalam masyarakat, dalam sosiologi dikenal dengan social stratification.
Pitirim A.sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan di bawahnya. Menurut Soerjono Soekanto(1982), di dalam masyarakat selalu dan pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dihargai dimasyarakat bisa berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status darah biru, atau keturunan dari keluarga tertentu yang terhormat. Sifat sistem lapisan social dalam masyarakat dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (open social stratification). System lapisan social yang bersifat tertutup membatasi pindahnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan lainnya, baik yang bergerak ke atas ataupun yang bergerak ke bawah.
Sebaliknya dalam sistem terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan usaha sendiri untuk naik lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung jatuh dari lapisan atas ke lapisan di bawahnya. Stratifikasi sosial pada masyarakat Klego termasuk system lapisan social yang terbuka. Sesuatu yang dianggap sedikit lebih tinggi mungkin hanya kekayaan, itupun tidak menimbulkan pengaruh yang berarti dalam kehidupan mereka bermasyarakat. lapisan social disana kurang jelas terlihat karena pada umumnya, mereka hidup berdampingan dan tidak mempermasalahkan status dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena warga masyarakat Klego mayoritas beragama islam dan dalam islam stratifikasi sosial tidak dibenarkan.




BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam kajian teori dan pembahasan, sehingga dapat disimpulkan sebagai akhir penulisan laporan yang kami susun ini. Dengan begitu kesimpulan yang kami dapat dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat keturunan arab telah menyatu dengan masyarakat yang ada disekitarnya meskipun demikian mereka yaitu masyarakat keturunan arab tidak mengenal penuh dengan kebudayaan yang ada di arab. Sehingga dapat di katakan telah terjadinya asimilasi dari kebudayaan arab menjadi kebudayaan masyarakat setempat yaitu masyarakat asli pekalongan. Yang dapat dilihat misalnya dari tata cara pernikahan, sistem kekerabatan, norma yang ada di masyarakat itu. Oleh karena itu, tidak ada yang membedakan antara masyarakat setempat dengan masyarakat keturunan arab dalam struktur dan proses sosial di masyarakat.
B. SARAN
Dalam penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna dalam penyusunannya. Oleh karena itu, kami butuh adanya saran yang bisa menjadi penyemangat bahkan yang sifatnya membangun. Demi perbaikan yang kami lakukan setiap mengadakan laporan sebagai suatu penulisan yang baik. Maka itu sangat kami butuhkan untuk kedepan yang lebih mendukung lagi. Dan dalam penyusunan laporan ini kami hanya berdiskusi di dalam ruangan, sehingga yang kami dapatkan informasinya hanya dari beberapa narasumber yang ada di dalam ruangan itu.

PERAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK
“Anak merupakan cermin keluarga / orang tua”. Demikianlah ungkapan yang sering kita dengar sebagai satu pengakuan bahwa orang tua memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Sebagaimana telah dijelaskan di depan pendidikan keluarga merupakan bagian yang tidak mungkin tergantikan oleh siapapun dalam proses pembentukan kepribadian anak. Sebab keluarga adalah pendidik dan penyelenggara pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak dalam menanamkan nilai-nilai, sikap, motivasi, minat, komitmen maupun konsep diri anak-anak. Sedemikian pentingnya peran keluarga ini seorang ahli psikologi keluarga yang bernama Sal Savere (2000 : xi) mengatakan bahwa jika kita memperbaiki keluarga seorang anak, maka semua aspek lainnya akan terperbaiki juga. Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Sylvia Rimm (1997 : xx) yang mengatakan bahwa “anak-anak lebih berprestasi jika para orang tua mereka bekerja sama dalam memberi pesan secara jelas, positif dan seragam tentang bagaimana seharusnya mereka belajar serta apa harapan-harapan orang tuanya terhadap mereka”. Pernyataan Sylvia ini merupakan salah satu prinsip dasar cara membesarkan anak dengan sukses. Berkaitan dengan pernyataan tersebut Charles Cooley (Supriyadi, 1986: 476) mengungkapkan demikian “keluarga disebut kelompok yang paling primer karena mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang”. Peran orang tua sebagai pendidik bagi anak-anaknya adalah suatu keharusan dan mesti dilakukan orang tua kepada anak-anaknya, sebab menurut Drost (1999: 22-29) anak-anak sangat membutuhkan beberapa hal berikut ini.
1. Mencintai dan Dicintai
Mencintai dan dicintai adalah kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Itu berarti secara konkrit orang tua harus terbuka kepada anaknya agar dapat mengenalinya. Yang tidak dikenal mustahil dicintai.
2. Perlindungan hingga merasa aman dan kerasan
Percaya mempercayai adalah syarat mutlak menciptakan suasana aman, yaitu suasana keterbukaan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk ikut berbagi kebahagiaan, keberhasilan, juga kegagalan dan keprihatinan dari keluarga.
3. Bimbingan
Bimbingan berarti orang tua harus menerima kemampuan anak apa adanya. Supaya kemampuan anak berkembang, orang tua harus menciptakan ruang lingkup yang menggairahkan dan merangsang. Kemudian yang perlu dihindari adalah segala hal yang menekan. Kemampuan anak harus dikembangkan, bukan cita-cita orang tua yang dipaksakan kepada anak. Anak bukan manusia dewasa kecil yang perlu dibesarkan melainkan anak yang harus didewasakan. Jadi bimbingan harus tegas, namun sabar dan penuh pengertian. Bimbingan harus didasarkan atas kepercayaan kepada anak, bukan kecurigaan. Bimbingan orang tua harus menyesuaikan diri dengan keadaan nyata si anak yang dibimbingnya
4. Diakui
Artinya orang tua harus menghargai pribadi anak. Meskipun anak masih tergantung pada orang tua, ia harus diperlakukan sebagi pribadi yang dihargai hak-haknya.
5. Disiplin
Anak adalah manusia yang didewasakan. Sesuai dengan umurnya sedikit demi sedikit ia harus diajari dan dibiasakan hidup sebagai makhluk sosial.Ia harus bergul dengan orang lain/sesamanya. Ia harus belajar bahwa pergaulan berarti ada aturan permainan. Ada batas-batas pada perilakunya. Semau gue tidak mungkin menjadi pola hidupnya. Orang tua harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam hal disiplin. Apabila anak melihat ayah dan ibunya orang yang tahu disiplin, ia akan menerima bahwa kepadanya dituntut disiplin juga. Dengan kebutuhan-kebutuhan anak tersebut, Vembriarto (1993: 43) menambahkan bahwa “proses pembentukan kepribadian anak dipengarui oleh corak pendidikan dan hubungan antara orang tua dengan anak. Corak pendidikan yang dimaksud oleh Vembriarto dibagi menjadi tiga pola.
1. Pola menerima – menolak. Pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
2. Pola memiliki – melepaskan. Pola ini didasarkan atas seberapa besar sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua over protektif dan memiliki anak, sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.
3. Pola demokrasi – otokrasi. Pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi anak dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan keluarga, walaupun masih dalam batas-batas tertentu. Anak yang dididik dalam keluarga dengan pola otokrasi biasanya akan bertumbuh dan berkembang menjadi anak yang tidak dapat mengembangkan diri. Hal ini dapat terjadi karena orang tua bertindak diktator, selalu ingin mengatur anaknya, anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Akibatnya, anak dengan pola didikan otokrasi biasanya akan memiliki kepribadian yang tidak stabil, cenderung memiliki sifat curiga terhadap orang lain dan suka menentang kekuasaan.
Mereka tidak lagi terkesan dan takut terhadap hukuman, karena sudah terlalu sering dihukum. (Dwi Nugrahawati, 2000: 26). Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan pola didikan demokratik akan memiliki kepribadian yang lebih luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional, bersikap lebih positif, merasa dihargai dan diakui keberadaannya oleh orang tua, sehingga akan lebih stabil dalam bertindak dan betingkah laku. Dalam keluarga demokratik orang tua mampu menjelaskan kepada anak tentang pola dan aturan-aturan tertentu serta alasan mengapa aturan tersebut dibuat. Anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan perrmasalahan yang dihadapi, mengungkapkan perasaan, dan diajak berdiskusi. Peran orang tua di sini adalah mengarahkan dan membimbing anaknya agar anaknya tidak berperilaku menyimpang dari aturan yang ada (Dwi Nugrahawati, 2000 : 29). Orang tua sebaiknya juga bersikap adil kepada anak-anaknya. Orang tua hendaknya memperlakukan anak-anaknya dengan adil dan sama, tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Perlakuan yang tidak adil dapat membuat anak tidak betah tinggal di rumah, kurang akrab dengan orang tua, sehingga hubungan antara anak dengan orang tua dapat terganggu. Anak dalam keluarga yang kurang komunikasi dan sosialisasi dengan orang tua akan mengalami kesulitan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya anak akan menjadi labil. Hubungan orang tua dan anak yang mengarah keperhatian orang tua terhadap anak, penuh kasih saying dan keakraban akan memberikan keserasian dalam keluarga. Anak dalam keluarga yang demikian tidak akan terganggu perkembangannya, sehingga ia dapat melakukan tugas kewajibannya sebagai anak (Dwi Nugrahawati, 2000 : 29-30).

Dalam rangka membentuk kepribadian anak, pelaksanaan pendidikan keluarga tidaklah sama dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah dilaksanakan atas dasar kurikulum, materi pelajaran dan jumlah jam pelajarannya berlaku secara nasional dan diatur sedemikian rupa. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga untuk memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan serta pelaksanaannya tidak berdasarkan kurikulum (UU RI No.2 Th. 1989, pasal 10, ayat 4). Pendidikan keluarga biasanya dilaksanakan pada saat ada pertemuan antara orang tua dengan anak dan dalam suasana yang santai, misalnya pada waktu makan bersama (biasanya makan malam), bepergian atau jalan-jalan bersama dan menonton televisi. Khusus untuk menonton TV ini, orang tua hendaknya mampu memberikan pendampingan dan bimbingan terhadap acara13 acara TV yang ditonton. Sebab banyak acara TV yang bersifat tidak mendidik dan hanya memenuhi kepentingan bisnis. Sedangkan materinya sebagaimana tertuang dalam UU RI No.2 Th. 1989, pasal 10, ayat 4 tersebut dapat berupa nilai-nilai, norma-norma, aturan dalam keluarga, agama, pandangan hidup, masalah-masslah yang aktual atau yang lain yang dianggap penting dalam keluarga tersebut. Penyampaian materinya biasanya dalam bentuk nasihat, petuah atau diskusi (Tambunan, 1982 : 121 -161).

Waktu dan materi pendidikan keluarga, menurut para psikolog (Tambunan, 1982 : 158) waktu makan sore adalah waktu / kesempatan terbaik bagi keluarga, karena waktu makan sore biasanya seluruh anggota keluarga dapat berkumpul bersama. Pada saat itu antara orang tua dan anak dapat saling membagi cinta, mempererat ikatan, memberi petunjuk-petunjuk, nasihat, dan menceritakan pengalaman-pengalaman. Sambil mendengarkan anak-anak menyampaikan keluhan, orang tua dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan apa saja yang diperlukan anak-anak, dan bersama-sama memperbincangkan serta mencari jalan keluarnya. Tambunan menegaskan bahwa inilah waktu yang tepat bagi para orang tua untuk mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik secara langsung, mengenal tabiat dan keperluan anak, merangsang minat belajar anak dan menyampaikan pujian atas tugas yang dilakukan dengan baik. Hasil penelitian yang membuktikan tentang peran orang tua sebagai faktor utama dalam belajar anak antara lain penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Bloom terhadap sejumlah profesional muda (usia 28 tahun – 35 tahun) yang berhasil dalam kariernya dalam berbagai lapangan kerja seperti pakar matematika. neurolog, pianis maupun olahragawan. Mereka yang menjadi sasaran penelitian tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama yaitu adanya keterlibatan orang tua mereka. Dorongan orang tua merupakan hal yang utama di dalam mengarahkan goal atau cita-cita mereka (Reni Akbar dan Hawadi, 2001 : 96).
Daisy Imelda memberikan beberapa saran kepada para orang tua dalam rangka meningkatkan perannya membentuk kepribadian anak (http://www.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/wydiaw/58/artikel1.htm) yaitu, (1) kenali kemampuan anak, jangan menuntut anak melebihi kemampuannya, (b) jangan membanding14 bandingkan anak dengan kakak atau adiknya, sebab setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda, (c) menerima anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya, (d) membantu anak mengatasi masalahnya, (e) tingkatkan semangat belajar anak, misalnya memberi pujian, pelukan, belaian, atau ciuman, (f) jangan mencela anak dengan kata-kata yang menyakitkan, misalnya mencela dengan kata-kata “bodoh”, “tolol”, “otak udang”, anak yang sering mendapat cap seperti itu pada akhirnya akan mempunyai pandangan bahwa dirinya memang bodoh dan tolol, (g) mendidik adalah tanggung jawab bersama, maksudnya ayah
dan ibu mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendidik anak, (h) senantiasa berdoa agar anak mendapat hasil terbaik.