on Kamis, 04 Juni 2009

PERAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN ANAK
“Anak merupakan cermin keluarga / orang tua”. Demikianlah ungkapan yang sering kita dengar sebagai satu pengakuan bahwa orang tua memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk kepribadian anak. Sebagaimana telah dijelaskan di depan pendidikan keluarga merupakan bagian yang tidak mungkin tergantikan oleh siapapun dalam proses pembentukan kepribadian anak. Sebab keluarga adalah pendidik dan penyelenggara pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak dalam menanamkan nilai-nilai, sikap, motivasi, minat, komitmen maupun konsep diri anak-anak. Sedemikian pentingnya peran keluarga ini seorang ahli psikologi keluarga yang bernama Sal Savere (2000 : xi) mengatakan bahwa jika kita memperbaiki keluarga seorang anak, maka semua aspek lainnya akan terperbaiki juga. Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Sylvia Rimm (1997 : xx) yang mengatakan bahwa “anak-anak lebih berprestasi jika para orang tua mereka bekerja sama dalam memberi pesan secara jelas, positif dan seragam tentang bagaimana seharusnya mereka belajar serta apa harapan-harapan orang tuanya terhadap mereka”. Pernyataan Sylvia ini merupakan salah satu prinsip dasar cara membesarkan anak dengan sukses. Berkaitan dengan pernyataan tersebut Charles Cooley (Supriyadi, 1986: 476) mengungkapkan demikian “keluarga disebut kelompok yang paling primer karena mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang”. Peran orang tua sebagai pendidik bagi anak-anaknya adalah suatu keharusan dan mesti dilakukan orang tua kepada anak-anaknya, sebab menurut Drost (1999: 22-29) anak-anak sangat membutuhkan beberapa hal berikut ini.
1. Mencintai dan Dicintai
Mencintai dan dicintai adalah kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Itu berarti secara konkrit orang tua harus terbuka kepada anaknya agar dapat mengenalinya. Yang tidak dikenal mustahil dicintai.
2. Perlindungan hingga merasa aman dan kerasan
Percaya mempercayai adalah syarat mutlak menciptakan suasana aman, yaitu suasana keterbukaan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk ikut berbagi kebahagiaan, keberhasilan, juga kegagalan dan keprihatinan dari keluarga.
3. Bimbingan
Bimbingan berarti orang tua harus menerima kemampuan anak apa adanya. Supaya kemampuan anak berkembang, orang tua harus menciptakan ruang lingkup yang menggairahkan dan merangsang. Kemudian yang perlu dihindari adalah segala hal yang menekan. Kemampuan anak harus dikembangkan, bukan cita-cita orang tua yang dipaksakan kepada anak. Anak bukan manusia dewasa kecil yang perlu dibesarkan melainkan anak yang harus didewasakan. Jadi bimbingan harus tegas, namun sabar dan penuh pengertian. Bimbingan harus didasarkan atas kepercayaan kepada anak, bukan kecurigaan. Bimbingan orang tua harus menyesuaikan diri dengan keadaan nyata si anak yang dibimbingnya
4. Diakui
Artinya orang tua harus menghargai pribadi anak. Meskipun anak masih tergantung pada orang tua, ia harus diperlakukan sebagi pribadi yang dihargai hak-haknya.
5. Disiplin
Anak adalah manusia yang didewasakan. Sesuai dengan umurnya sedikit demi sedikit ia harus diajari dan dibiasakan hidup sebagai makhluk sosial.Ia harus bergul dengan orang lain/sesamanya. Ia harus belajar bahwa pergaulan berarti ada aturan permainan. Ada batas-batas pada perilakunya. Semau gue tidak mungkin menjadi pola hidupnya. Orang tua harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam hal disiplin. Apabila anak melihat ayah dan ibunya orang yang tahu disiplin, ia akan menerima bahwa kepadanya dituntut disiplin juga. Dengan kebutuhan-kebutuhan anak tersebut, Vembriarto (1993: 43) menambahkan bahwa “proses pembentukan kepribadian anak dipengarui oleh corak pendidikan dan hubungan antara orang tua dengan anak. Corak pendidikan yang dimaksud oleh Vembriarto dibagi menjadi tiga pola.
1. Pola menerima – menolak. Pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang tua terhadap anak.
2. Pola memiliki – melepaskan. Pola ini didasarkan atas seberapa besar sikap protektif orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak dari sikap orang tua over protektif dan memiliki anak, sampai kepada sikap mengabaikan anak sama sekali.
3. Pola demokrasi – otokrasi. Pola ini didasarkan atas taraf partisipasi anak dalam menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga. Pola otokrasi berarti orang tua bertindak sebagai diktator terhadap anak, sedangkan dalam pola demokrasi anak dapat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan keluarga, walaupun masih dalam batas-batas tertentu. Anak yang dididik dalam keluarga dengan pola otokrasi biasanya akan bertumbuh dan berkembang menjadi anak yang tidak dapat mengembangkan diri. Hal ini dapat terjadi karena orang tua bertindak diktator, selalu ingin mengatur anaknya, anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Akibatnya, anak dengan pola didikan otokrasi biasanya akan memiliki kepribadian yang tidak stabil, cenderung memiliki sifat curiga terhadap orang lain dan suka menentang kekuasaan.
Mereka tidak lagi terkesan dan takut terhadap hukuman, karena sudah terlalu sering dihukum. (Dwi Nugrahawati, 2000: 26). Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan pola didikan demokratik akan memiliki kepribadian yang lebih luwes dan dapat menerima kekuasaan secara rasional, bersikap lebih positif, merasa dihargai dan diakui keberadaannya oleh orang tua, sehingga akan lebih stabil dalam bertindak dan betingkah laku. Dalam keluarga demokratik orang tua mampu menjelaskan kepada anak tentang pola dan aturan-aturan tertentu serta alasan mengapa aturan tersebut dibuat. Anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan perrmasalahan yang dihadapi, mengungkapkan perasaan, dan diajak berdiskusi. Peran orang tua di sini adalah mengarahkan dan membimbing anaknya agar anaknya tidak berperilaku menyimpang dari aturan yang ada (Dwi Nugrahawati, 2000 : 29). Orang tua sebaiknya juga bersikap adil kepada anak-anaknya. Orang tua hendaknya memperlakukan anak-anaknya dengan adil dan sama, tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Perlakuan yang tidak adil dapat membuat anak tidak betah tinggal di rumah, kurang akrab dengan orang tua, sehingga hubungan antara anak dengan orang tua dapat terganggu. Anak dalam keluarga yang kurang komunikasi dan sosialisasi dengan orang tua akan mengalami kesulitan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya anak akan menjadi labil. Hubungan orang tua dan anak yang mengarah keperhatian orang tua terhadap anak, penuh kasih saying dan keakraban akan memberikan keserasian dalam keluarga. Anak dalam keluarga yang demikian tidak akan terganggu perkembangannya, sehingga ia dapat melakukan tugas kewajibannya sebagai anak (Dwi Nugrahawati, 2000 : 29-30).

Dalam rangka membentuk kepribadian anak, pelaksanaan pendidikan keluarga tidaklah sama dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah dilaksanakan atas dasar kurikulum, materi pelajaran dan jumlah jam pelajarannya berlaku secara nasional dan diatur sedemikian rupa. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga untuk memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan serta pelaksanaannya tidak berdasarkan kurikulum (UU RI No.2 Th. 1989, pasal 10, ayat 4). Pendidikan keluarga biasanya dilaksanakan pada saat ada pertemuan antara orang tua dengan anak dan dalam suasana yang santai, misalnya pada waktu makan bersama (biasanya makan malam), bepergian atau jalan-jalan bersama dan menonton televisi. Khusus untuk menonton TV ini, orang tua hendaknya mampu memberikan pendampingan dan bimbingan terhadap acara13 acara TV yang ditonton. Sebab banyak acara TV yang bersifat tidak mendidik dan hanya memenuhi kepentingan bisnis. Sedangkan materinya sebagaimana tertuang dalam UU RI No.2 Th. 1989, pasal 10, ayat 4 tersebut dapat berupa nilai-nilai, norma-norma, aturan dalam keluarga, agama, pandangan hidup, masalah-masslah yang aktual atau yang lain yang dianggap penting dalam keluarga tersebut. Penyampaian materinya biasanya dalam bentuk nasihat, petuah atau diskusi (Tambunan, 1982 : 121 -161).

Waktu dan materi pendidikan keluarga, menurut para psikolog (Tambunan, 1982 : 158) waktu makan sore adalah waktu / kesempatan terbaik bagi keluarga, karena waktu makan sore biasanya seluruh anggota keluarga dapat berkumpul bersama. Pada saat itu antara orang tua dan anak dapat saling membagi cinta, mempererat ikatan, memberi petunjuk-petunjuk, nasihat, dan menceritakan pengalaman-pengalaman. Sambil mendengarkan anak-anak menyampaikan keluhan, orang tua dapat mengetahui kebutuhan-kebutuhan apa saja yang diperlukan anak-anak, dan bersama-sama memperbincangkan serta mencari jalan keluarnya. Tambunan menegaskan bahwa inilah waktu yang tepat bagi para orang tua untuk mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik secara langsung, mengenal tabiat dan keperluan anak, merangsang minat belajar anak dan menyampaikan pujian atas tugas yang dilakukan dengan baik. Hasil penelitian yang membuktikan tentang peran orang tua sebagai faktor utama dalam belajar anak antara lain penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Bloom terhadap sejumlah profesional muda (usia 28 tahun – 35 tahun) yang berhasil dalam kariernya dalam berbagai lapangan kerja seperti pakar matematika. neurolog, pianis maupun olahragawan. Mereka yang menjadi sasaran penelitian tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama yaitu adanya keterlibatan orang tua mereka. Dorongan orang tua merupakan hal yang utama di dalam mengarahkan goal atau cita-cita mereka (Reni Akbar dan Hawadi, 2001 : 96).
Daisy Imelda memberikan beberapa saran kepada para orang tua dalam rangka meningkatkan perannya membentuk kepribadian anak (http://www.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/wydiaw/58/artikel1.htm) yaitu, (1) kenali kemampuan anak, jangan menuntut anak melebihi kemampuannya, (b) jangan membanding14 bandingkan anak dengan kakak atau adiknya, sebab setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda, (c) menerima anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya, (d) membantu anak mengatasi masalahnya, (e) tingkatkan semangat belajar anak, misalnya memberi pujian, pelukan, belaian, atau ciuman, (f) jangan mencela anak dengan kata-kata yang menyakitkan, misalnya mencela dengan kata-kata “bodoh”, “tolol”, “otak udang”, anak yang sering mendapat cap seperti itu pada akhirnya akan mempunyai pandangan bahwa dirinya memang bodoh dan tolol, (g) mendidik adalah tanggung jawab bersama, maksudnya ayah
dan ibu mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mendidik anak, (h) senantiasa berdoa agar anak mendapat hasil terbaik.

0 komentar:

Posting Komentar